Minggu, 01 Desember 2013
Kepada er
Perempuanku
Banjarmasin, 2011-2013
Kamis, 29 November 2012
Tak semestinya ada kata benci
Peran Pers Mahasiswa Sebagai Pengawal Multikultural di Indonesia
Media Online di PPMI era kekinian
Antara Pers Mahasiswa dan Pers Umum
Sekilas Pers di Indonesia
Senin, 19 Maret 2012
Minggu, 18 Maret 2012
Ledakan hambar
Mendekil di balik lapak dekat bensin dan rokok. Berharap hujan segera reda dan kembali tampil dengan mukanya yang terbanggakan. Sesudah terang, harapan matahari agar segera muncul menerpa setiap kelembapan. Sebab, lembab jauh dari kegarangan petasan.
Kering hadir dengan angin keringnya. Waktu yang benar-benar dinanti rupanya hadir dengan senyum janggal. Kita seharusnya curiga. Tapi dengan kekeh yang kering pula, semangat menanjak pada ulu sjambulnya. yah, kita biasa menamai jambul itu sumbu. Diambilnya korek. bermerek TOKAI. Merek korek api yang paling disegani oleh para perokok. Murah, tetapi sekali gesek, langsung menyinari. apinya tak tanggung-tanggung. bisa di setel hingga mengepul ke ujung alis.
Kodok lewat. Senyum membumbung ke arah petasan. Hambar, dengan bibir agak miring. Kiri keatas, kanan ke bawah, dengan sedikit menaikkan retina. Senyuman yang sangat menghina. Serupa hinaan orang Timur yang tipis dan dalam. Aih, memuncaklah sang petasan dengan TOKAInya.
Disulutlah jambulnya. sambil menggarangkan wajah, menuju Kodok. "Matilah kau".
Sambil bergelinding, dia berpindah tyempat. Sigaplah Sang kodok dengan kaki terkutuknya. Lompatlah dia.
Sudah sampai di tempat yang dituju, petasan resah dengan bara sumbunya yang semakin dekat. Mukanya pucat pasih. Pikirnya tak karuan. "Akan Jadi apa aku nanti stelah semua ini?", tanyanya pada hati. "Duh gusti.. tak lama lagi, sumbu ini akan habis di kepalaku", tambahnya.
Satu detik, dua detik dan tiga. Kembalilah ketenangan setelah gelegar itu.
Surabaya, 2012
Kamis, 27 Oktober 2011
Kode Etik Pemodal harus ada
Defy Firman Al Hakim, 2011
Selasa, 25 Oktober 2011
Existence syndrome
Dalam catatan mengandung beberapa keinginan. Tercetusnya harapan, leganya keresahan, mengasah skill, tinimbang nganggor, agar ingat pada suatu hal, hingga keinginan untuk diperhatikan, yang biasa kita sebut sebagai existence syndrome .
Cinta, perjalanan, hari-hari yang pedas, hingga suasana ketika kita buang air tercatat rapi dalam catatan-catatan lusuh yang biasa kita banggakan. Hebat betul diri kita. karena kita sendiri yang mencatat catatan itu. Ke-aku-an sang penulis.
Tak ada yang salah memang. Itu adalah hak yang sudah dimiliki manusia modern- untuk eksistensinya.
Tapi sadarkah kita menjadi hakim agung yang kejam dalam catatan-catatan kehidupan kita ini? Apalagi ketika mencatat tentang orang-orang disekitar kita. Begitu nyamannya kita hingga lupa, siapa diri kita
Serentetan suasana yang mendukung eksistensi diri kita lahir dari sini.
Akhir-akhir ini aku menjadi resah tentang apa itu eksistensi. Naluri makhluk sosial memang, mencari tau siapa dan dimana posisi diri. Tapi, lagi-lagi kita akan lupa, bagaimana hal pencarian eksistensi itu tadi tak hanya baik untuk kita. Kepekaan dan kejelian hati nurani dipertaruhkan disini. Bagaimana kita bekerja keras untuk mencari eksistensi diri. Apakah kita mengesampingkan yang lain atau tidak.
Saya harap pencarian eksistensi diri ini tak mengurangi atau bahkan membunuh hak yang lain. Memang sulit, Tapi dari catatan "kehidupan" yang dipersembahkan untuk pengingat diri, saya menjadi ingat kembali akan ini.
Tepi kali Brantas, 2011
Kamis, 29 September 2011
Hati-Hati terhadap Media Massa kita
Tak percaya?
Lihatlah beberapa contoh yang telah dipaparkan. Bagaiamana kerja mempengaruhi publik secara menyeluruh dan merata melalui media. Dan hal ini disebut oleh ahli opini publik sebagai "Sigil of media" atau sihir sigil media.
Sihir yang bukan diserangkan melalui jampi-jampi atau mantra-mantra mbah dukun. Akan tetapi melalui sistematika conten acara atau isi dari apa yang dikeluarkan sebuah media kepada publik. dan hal ini dilakukan secara terus-menerus hingga publik tak sadar bahwa sedang di seting pemahamannya terhadap sesuatu.
Kita tak akan bisa menilai dengan jernih , apakah sesuatu hal itu baik atau buruk.
Bayangkan, berapa nilai yang telah membengkokkan kita?
Siap yang mau melakukan hal paling bajingan tersebut?
Jika saja yang memiliki baik, apalagi dari orang pribumi, mungkin saja hal itu tak akan terjadi.
Masalhanya disini, 98 % Media umum di Indonesia merupakan aset asing. Dan saya yakin, apapun yang datangnya dari asing (terutama Amerika dan sekutunya) itu adalah suatu kerugian. apapun bentuknya. Karena mereka memiliki kepentingan yang abadi- Sumber Daya kita.
Ingat bayangan kita diawal. Gambaran idealnya, jika suatu masyarakat tambah tahu banyak, maka masyarakat tersebut akan lebih maju dan sejahtera. Tapi mengapa masih susah saja?
Nilai-nilai kesuksesan dan kesejahteraan seperti apa kah yang benar-benar itu?
Apa sajakah yang telah berubah dari kita?
Inilah PR kita bersama. Bagaiamana kita harus kembali menjadi fundamentalisme atau trah jati diri kita. Siapa kita? Siapa bangsa ini? Bagaimana ajaran hidup nenek moyang kita haingga mereka jadi penguasa?
Semua itu adalah PR bagi kita.
Selain itu, setelah saya menampilkan beberapa dosa Media, hendaknya kita saling mengingatkan bahwa filter terhadap konsumsi informasi kita harus diperketat. Karena jika alam bawah sadar kita telah kebobolan, tamatlah.
Karena begitu berbahayanya efek laten dari media yang tanpa filter tersebut.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan barokah.
SALAM BANGKIT!!!
Selasa, 20 September 2011
Aku mimpi buruk semalam
Semoga siang ini menghantarkan keterbukaan itu
Agar dapat ikut merasakannya
Agar tak lekas hancur batas hatimu
-sebab penuh sesak oleh kepiluan
14/6/2010 13:28 WIB
*
Sore ini begitu lelap bersadur mimpi
Aku dan bunga lili adalah ironi yang indah
Pernah ku bertanya pada ibu,
Tentang perasaan dan perih
Dalam halus senyumnya, beliau menjawab..
14/6/2010 18:42 WIB
*
Apa yang kau ketahui tentang risau?
16/6/2010 19:29 WIB
*
Masih kurenungkan ke-diam-an tanya tercurah hari ini
Semoga tak seperti yang ku fakir risau hati ini.
Tentang keberadaan rasa yang nista.
16/6/2010 21:39 WIB
*
Sesalku menodong ribuan senapan.
Mirislah angan yang di genggam
Tentag jiwa pengembara yang menatihkan tujuan, adalah ke-diamanku yang kebingungan arah
16/6/2010 21:17 WIB
*
Dalam lajur perasaan, akankah lelumutan tumbuh dan menggerus harapan.
Asap kematian pun datang dengan kawanan golok bermata dua.
Tapi kutetapkan hadangan indah buatnya.
16/6/2010 21:28 WIB
Malam ini tiba-tiba memberiku sebuah mimpi yang langsung mengingatkanku pada percakapan elektronik ini. Semuanya tetap-tentang wanita indah bermata sayu. Yang memberiku suatu keyakinan akan rasaku yang hilang.
Begitu indah hingga ku tak berani untuk berfikir indah dengannya di esok hari. Sepertinya tak pantas bajingan sepertiku memuai mimpi indah itu. Begitu takutnya sebuah luka akan menghinggapinya. Hingga harus kupendam inginku. Karena aku sadar betuk bagaimana rasa ini. Ya Alloh… ampun ya robb..
Aku seperti ini- meninggalkan begitu saja batu bata yang kususun dari bawah-bukan karena sebab. Semua berawal dari celoteh seorang teman. Di suatu subuh, tiba-tiba dia menggemparkan hati dengan sebuah dalil. Yang artinya kurang lebih,”Menikahlah dengan kekhufuan. Yang baik dengan yang baik. Dan yang buruk dengan yang buruk. Jangan engkau campur adukkan antara keduanya”.
“Duh gusti…. Aku ini kan seorang bajingan. Dia bukan.”, rontahan hatiku.
Mungkinkah seorang yang aku anggap benar-benar suatu perhiasan langka nan mahal ku sentuh. Sedangkan posisi diri ini masih sebagai kaum jelata dalam hal agama.
Meskipun sholatku bolong-bolong, tapi tentang fundamentalitas berketuhanan diri ini sangat pengku-apa kata dalil. Sebab, kuanggap aku tak sampai untuk menentukan atau menimbang masalah dosa. Mana boleh atau tidak. Apalagi ini adalah soal masa depan anak cucu. Duh gusti…..
Entah seperti apa kini hatimu yang kutinggalkan. Kehilangan kah? Biasa? Atau malah senang? Aku tak tau sayang. Yang kutahu, ekspresimu dalam mimpiku semalam. Kau duduk tersimpuh di sudut kegelapan, dan matamu yang biru basah oleh suatu hal. Aku lewat begitu saja. Tak sanggup ku menoleh. Tak sanggup.
Cerita kini memang sudah terlanjur lewat. Tapi aku yakin, kau pun menyimpan Tanya dan benci. Perihal kepergian hadirku disetiap pagimu. Dan kuharap kepekaan hatimu sanggup mengejawantahkan semua ini. Bencilah bajingan ini, ludilah bayangku.
Aku hanya bias meratap pada pagi tantang takdir yang baru berjalan setengah ronde ini. Aku menanti keindahan yang hakiki tentangmu. Jika kau mau. Aku akan diam dan menghilang sejenak untuk menunggu takdir tulang rusukku itu.
Semoga takdir itu adalah dirimu. Dan kita bisa merealisasikan mimpi-mimpi kita tentang keluarga kecil yang sejuk. Dengan celotehan tawa dan tangis anak-anak kita. Semoga….
Aku berdoa pada sang pembuah takdir untuk ini. Jika mau, bantulah aku memanjatkannya.