Selasa, 20 September 2011

Aku mimpi buruk semalam


Semoga siang ini menghantarkan keterbukaan itu

Agar dapat ikut merasakannya

Agar tak lekas hancur batas hatimu

-sebab penuh sesak oleh kepiluan

14/6/2010 13:28 WIB

*

Sore ini begitu lelap bersadur mimpi

Aku dan bunga lili adalah ironi yang indah

Pernah ku bertanya pada ibu,

Tentang perasaan dan perih

Dalam halus senyumnya, beliau menjawab..

14/6/2010 18:42 WIB

*

Apa yang kau ketahui tentang risau?

16/6/2010 19:29 WIB

*

Masih kurenungkan ke-diam-an tanya tercurah hari ini

Semoga tak seperti yang ku fakir risau hati ini.

Tentang keberadaan rasa yang nista.

16/6/2010 21:39 WIB

*

Sesalku menodong ribuan senapan.

Mirislah angan yang di genggam

Tentag jiwa pengembara yang menatihkan tujuan, adalah ke-diamanku yang kebingungan arah

16/6/2010 21:17 WIB

*

Dalam lajur perasaan, akankah lelumutan tumbuh dan menggerus harapan.

Asap kematian pun datang dengan kawanan golok bermata dua.

Tapi kutetapkan hadangan indah buatnya.

16/6/2010 21:28 WIB

Malam ini tiba-tiba memberiku sebuah mimpi yang langsung mengingatkanku pada percakapan elektronik ini. Semuanya tetap-tentang wanita indah bermata sayu. Yang memberiku suatu keyakinan akan rasaku yang hilang.

Begitu indah hingga ku tak berani untuk berfikir indah dengannya di esok hari. Sepertinya tak pantas bajingan sepertiku memuai mimpi indah itu. Begitu takutnya sebuah luka akan menghinggapinya. Hingga harus kupendam inginku. Karena aku sadar betuk bagaimana rasa ini. Ya Alloh… ampun ya robb..

Aku seperti ini- meninggalkan begitu saja batu bata yang kususun dari bawah-bukan karena sebab. Semua berawal dari celoteh seorang teman. Di suatu subuh, tiba-tiba dia menggemparkan hati dengan sebuah dalil. Yang artinya kurang lebih,”Menikahlah dengan kekhufuan. Yang baik dengan yang baik. Dan yang buruk dengan yang buruk. Jangan engkau campur adukkan antara keduanya”.

“Duh gusti…. Aku ini kan seorang bajingan. Dia bukan.”, rontahan hatiku.

Mungkinkah seorang yang aku anggap benar-benar suatu perhiasan langka nan mahal ku sentuh. Sedangkan posisi diri ini masih sebagai kaum jelata dalam hal agama.

Meskipun sholatku bolong-bolong, tapi tentang fundamentalitas berketuhanan diri ini sangat pengku-apa kata dalil. Sebab, kuanggap aku tak sampai untuk menentukan atau menimbang masalah dosa. Mana boleh atau tidak. Apalagi ini adalah soal masa depan anak cucu. Duh gusti…..

Entah seperti apa kini hatimu yang kutinggalkan. Kehilangan kah? Biasa? Atau malah senang? Aku tak tau sayang. Yang kutahu, ekspresimu dalam mimpiku semalam. Kau duduk tersimpuh di sudut kegelapan, dan matamu yang biru basah oleh suatu hal. Aku lewat begitu saja. Tak sanggup ku menoleh. Tak sanggup.

Cerita kini memang sudah terlanjur lewat. Tapi aku yakin, kau pun menyimpan Tanya dan benci. Perihal kepergian hadirku disetiap pagimu. Dan kuharap kepekaan hatimu sanggup mengejawantahkan semua ini. Bencilah bajingan ini, ludilah bayangku.

Aku hanya bias meratap pada pagi tantang takdir yang baru berjalan setengah ronde ini. Aku menanti keindahan yang hakiki tentangmu. Jika kau mau. Aku akan diam dan menghilang sejenak untuk menunggu takdir tulang rusukku itu.

Semoga takdir itu adalah dirimu. Dan kita bisa merealisasikan mimpi-mimpi kita tentang keluarga kecil yang sejuk. Dengan celotehan tawa dan tangis anak-anak kita. Semoga….

Aku berdoa pada sang pembuah takdir untuk ini. Jika mau, bantulah aku memanjatkannya.

Berantas, September 2011

0 komentar:

Posting Komentar