Minggu, 01 Desember 2013

Perempuanku

 Awal pertemuan kita memang spektakuler. Semacam festival ludruk di awal bulan Juli yang sedang meriah-meriahnya. Sekelas Bagir Manan lah yang memulai mencomblangkan kita melalui perumpamaan “Arok Dedes”. Perjalanan yang menyenangkan saat semakin mengetahui betapa meriahnya perasaan yang kau tawarkan. Sampai-sampai aku menghentikan hobi lamaku: bermain cinta dimana-mana. Keyakinan hadir di tengah-tengah kita.
***
Selanjutnya sebutan Dandelion lahir sebagai mahkota untukmu. Disusul kehidupan kita yang saling mengenal, bahkan memeluk dan bercinta sendiri. Perasaan kita menjadi pasar malam, ya pasar malam versi Hitler, Soekarno, Ernest sebagai ownernya. Meriah. Dalam. Senyum dan keyakinan bermunculan dimana-mana.
***
Ada semasa waktu yang sempat menantangku untuk menaikkan bunga-bunga rampai di halaman rumahku yang suwung. Untuk menerima tamu sebanyak-banyaknya biar dunia tahu bahwa ada keyakinan yang memeluk kita. Karena hidup bersama bagi manusia macam kita adalah keyakinan dalam berjuang. Tapi sial. Ada setumpuk benang kusut yang musti kuurai saat itu. Yang membuatmu melayang-layang bersama kutukan-kutukan yang kau sebut do’a dan harapan. Maaf kasih. Bukan maksudku mengindahkanmu. Sabarlah sejenak. Duduklah yang manis sembari menyusun langkah revolusionermu itu. Tenanglah, akangmu ini tak diam.
***
Selaksa do’a yang kusebut sebagai kutukan tadi hadir menjelma sebagai sosok pucat berbulu dan berhidung mancung. Mungkin penisnya terjelaskan oleh mancungnya buaian kisah yang diutarakannya untukmu. Ya Gusti, ampunilah perempuanku yang memiliki semangat hidup tinggi ini. Sayangilah dia seperti ia mendekap harapannya padaku beberapa waktu yang lalu. Jangan biarkan kesialan menyentuh keningnya untuk kesekian kalinya. Cintaku membebaskan tapi tidak untuk menjadikannya makanan Si hidung yang dilumuri libido itu. Baik dan halusnya paras hati perempuanku tak pantas mendapatkan kutukan macam itu.
***
Ken Dedesku, Dandelionku, keyakinanku yang lama ku selami. Bagian mana yang biasa kau suka jika ku kecup?  Siapa namamu? Apa kesukaanmu jika malam menggantung tinggi-tinggi? Tiba-tiba saja aku canggung tak mengenalmu. Saat ku ingat-ingat lagi, berubah menjadi buram. Mungkin setelah setumpuk mawar-mawarn yang harum datang di hadapanmu: bukan dariku yang pelan-pelan membangun monumen sayang yang agung. Akhirnya gamanglah perempuan yang ku kenal cerdas dan indah itu. Yang ada tinggallah rasa bersalah dan ketakutan yang menyublim dengan rasa kasihan padaku. Ah.. kasih, lelaki gilamu ini tak pantas kau kasihani. Dia adalah lelaki karang dengan cintanya yang agung dan membebaskan.
Aku memperjuangkanmu dengan keyakinan. Ketahuilah, perjuanganku kali ini karena kekhawatiran yang teramat atas sosok pecinta kambing guling itu.
***
Dengan halus ku katakan, sudahlah, “jika kau ingin belajar pula, kulepaskan belenggu kasih ini”. Nikmatilah takdirmu yang menurutmu indah dan masyur itu. Aku hanya sedikit mengingatkan, tegarlah nanti jika benar dugaan-dugaanku, datanglah jangan ragu. Ada pundakku. Sebab ada keyakinan untukmu.
Selamat berlayar, selamat berindah-indah kembali.
Aku ikut bahagia.


Banjarmasin, 2011-2013

0 komentar:

Posting Komentar