***
Selanjutnya sebutan Dandelion
lahir sebagai mahkota untukmu. Disusul kehidupan kita yang saling mengenal,
bahkan memeluk dan bercinta sendiri. Perasaan kita menjadi pasar malam, ya
pasar malam versi Hitler, Soekarno, Ernest sebagai ownernya. Meriah. Dalam.
Senyum dan keyakinan bermunculan dimana-mana.
***
Ada semasa waktu yang sempat menantangku untuk menaikkan
bunga-bunga rampai di halaman rumahku yang suwung. Untuk menerima tamu
sebanyak-banyaknya biar dunia tahu bahwa ada keyakinan yang memeluk kita.
Karena hidup bersama bagi manusia macam kita adalah keyakinan dalam berjuang. Tapi
sial. Ada setumpuk benang kusut yang musti kuurai saat itu. Yang membuatmu
melayang-layang bersama kutukan-kutukan yang kau sebut do’a dan harapan. Maaf kasih.
Bukan maksudku mengindahkanmu. Sabarlah sejenak. Duduklah yang manis sembari
menyusun langkah revolusionermu itu. Tenanglah, akangmu ini tak diam.
***
Selaksa do’a yang kusebut sebagai kutukan tadi hadir
menjelma sebagai sosok pucat berbulu dan berhidung mancung. Mungkin penisnya
terjelaskan oleh mancungnya buaian kisah yang diutarakannya untukmu. Ya Gusti,
ampunilah perempuanku yang memiliki semangat hidup tinggi ini. Sayangilah dia
seperti ia mendekap harapannya padaku beberapa waktu yang lalu. Jangan biarkan
kesialan menyentuh keningnya untuk kesekian kalinya. Cintaku membebaskan tapi
tidak untuk menjadikannya makanan Si hidung yang dilumuri libido itu. Baik dan
halusnya paras hati perempuanku tak pantas mendapatkan kutukan macam itu.
***
Ken Dedesku, Dandelionku, keyakinanku yang lama ku selami. Bagian
mana yang biasa kau suka jika ku kecup? Siapa
namamu? Apa kesukaanmu jika malam menggantung tinggi-tinggi? Tiba-tiba saja aku
canggung tak mengenalmu. Saat ku ingat-ingat lagi, berubah menjadi buram. Mungkin setelah setumpuk mawar-mawarn yang harum datang
di hadapanmu: bukan dariku yang pelan-pelan membangun monumen sayang yang
agung. Akhirnya gamanglah perempuan yang ku kenal cerdas dan indah itu. Yang
ada tinggallah rasa bersalah dan ketakutan yang menyublim dengan rasa kasihan
padaku. Ah.. kasih, lelaki gilamu ini tak pantas kau kasihani. Dia adalah
lelaki karang dengan cintanya yang agung dan membebaskan.
Aku memperjuangkanmu dengan keyakinan. Ketahuilah,
perjuanganku kali ini karena kekhawatiran yang teramat atas sosok pecinta
kambing guling itu.
***
Dengan halus ku katakan, sudahlah, “jika kau ingin belajar
pula, kulepaskan belenggu kasih ini”. Nikmatilah takdirmu yang menurutmu indah
dan masyur itu. Aku hanya sedikit mengingatkan, tegarlah nanti jika benar
dugaan-dugaanku, datanglah jangan ragu. Ada pundakku. Sebab ada keyakinan
untukmu.
Selamat berlayar, selamat berindah-indah kembali.
Aku ikut bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar