Jumat, 01 Januari 2010

Konsekuensi Publik Terhadap Kekerasan Media Yang Di Gemarinya

1. Apa media massa itu?

Berbicara tentang MM atau Media Masa,berarti berbicara tentang aspek komunikasi Massa. Komunikasi massa sendiri memiliki beberapa definisi yaitu:
• pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Bittner, 1980)
• Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga
dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri
Gerbner (1967)
• Jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan
anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara
serentak dan sesaat.Jalaludin Rahmat (2000)

Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa komunikasi massa adalah pesan yang terjadi disuatu waktu dalam jangkauan yang tidak terbatas sertaberlangsung secara terus menerus. Jadi dapat dibayngkan bahwa efek dari komunikasi massa ini sangat lah luar biasa terhadap keberadaan public.

Selain itu menurit Wrigth terdapat beberapa activitas pokok dari komunikasi massa,yaitu:
1. Pengawasan lingkungan
2. Kolerasi
3. Transmisi budaya
4. Hiburan

Jika ditarik kembali pada salah satu materi kuliahyng diberikan oleh bapak Moechtar W, Bahwa terdapat 5 (lima) fungsi media massa, abtaralain :
1. To Inform (menginformasikan)
2. To educate(pendidikan)
3. To social control(mengkontrol)
4. To entertaint(hiburan)
5. To connected(menghubungkan)

Dari bebeberapa fungsi tersebut seharusnya media massa adalah alat yang paling efectiv untuk menjadikan kehidupan ini menjadi lebih teratur dan lebih baik,akan tetapi terdapat beberapa anomaly media massa dimana apa yang di tanyangkan dalam media massa saat ini agaknya berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
Salah satu teori media, yakni teori konstruksionis, berita sebagai produk media memang tidak lebih sebagai konstruksi dari “fakta” di lapangan, bukan refleksi. Artinya, berita yang oleh khalayak baca setiap harinya bukanlah apa yang terjadi sungguh-sungguh di luar sana. Konstruksi mengandung arti bahwa bagaimana isi sebuah produk berita sangat bergantung dari bagaimana fakta tersebut dilihat dan dibingkai oleh pewarta atau institusi media. Nah, bagaimana institusi media bekerja dalam mengkonstruksikan berita tentu saja dipengaruhi oleh serangkaian faktor baik internal maupun eksternal.
Dalam sebuah contoh kecil, setiap orang tentu punya pandangan yang berbeda tentang sebuah peristiwa. Misalnya, saya melihat bahwa pembalakan hutan adalah sebuah tindakan melanggar hukum. Opini saya tersebut hadir karena sejak kecil saya hidup di perkampungan pinggir hutan, sehingga saya berinteraksi dengan realitas sosial bahwa hutan adalah sebuah kekayaan alam yang patut dilindungi. Bagi orang lain, mungkin pembalakan hutan adalah sebuah resiko yang wajar karena merupakan salah satu sumber bagi pemasukan negara.
Dalam mekanisme konstruksi berita, proses yang terjadi lebih kompleks dari contoh tersebut. Karena setiap orang (dalam institusi media) sepanjang hidupnya berinteraksi dengan kondisi sosial dan kemudian mempunyai nilai-nilai yang dia pegang. Nilai-nilai tersebut akan berinteraksi dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi dimana media tersebut beroperasi. Sekumpulan nilai tersebut lantas termanifestasikan ke dalam poltik redaksional media. Bisa dibayangkan seberapa banyak interaksi yang terjadi dalam sekali proses produksi berita. Proses interaksi dalam proses konstruksi realitas inilah yang memungkinkan adanya reduksi serangkaian fakta hingga akhirnya menjadi “fakta” yang hadir dalam setiap lembar surat kabar yang kita baca sehari-hari.


2. Definisi Kekerasan
Sebelum memasuki pembahasan tentang kekerasan media,hendaknya kita harus mengetahui apa definisi kekerasan itu sendiri.Apa itu kekerasan? Dan, mengapa kekerasan begitu sulit untuk dilenyapkan di dalam corak kehidupan media kita, ataupun di dalam realitas sehari-hari kehidupan kita? Sebagai definisi awal yang sederhana, kita bisa pertama-tama melihat kekerasan sebagai kekuatan untuk memaksa.

Di dalam paksaan, kita menemukan unsur dominasi. Dominasi itu berada di tataran yang kasat mata, sampai yang tidak kasat mata. Bentuk-bentuk dominasi bisa ditelusuri mulai dari dominasi fisik, dominasi verbal, moral, dan psikologis. Dominasi tersebut berdampak negatif pada manusia, karena secara langsung bisa menciptakan luka fisik dan psikologis. Secara kasat mata, dominasi tersebut dapat dilihat di dalam penggunaan kekuatan bersenjata, manipulasi politik melalui fitnah, pemberitaan yang tidak berimbang tentang suatu peristiwa, pernyataan-pertanyaan yang mendiskreditkan pihak tertentu, dan penghinaan eksplisit yang secara jelas melukai hati orang yang mendengarnya.

Jadi, kekerasan adalah semua tindakan yang bisa merusak dasar kehidupan seseorang. Kerusakan tersebut bisa fatal, atau sekedar meninggalkan goresan. Di dalam media kita, kekerasan telah menjadi sesuatu yang biasa, yang banal. Kebiasaan tersebut muncul, karena ketika kita menyaksikan adegan kekerasan, ada perasaan terpesona yang hadir. Memang, kekerasan bisa menghadirkan sensasi-sensasi kenikmatan bagi orang yang menyaksikannya. Hal ini menjelaskan, mengapa film action di bioskop-bioskop 21 laku keras di pasaran, serial televisi Buser dan sejenisnya tetap eksis dan digemari, dan bahkan sampai perkelahian dalam reality show di jalanan bisa menjadi tontonan massa hanya dalam sekejap mata, seolah-olah perkelahian itu merupakan hiburan.

Di dalam konteks media elektronik, kekerasan ditampilkan dengan cara yang berlebihan. Di dalamnya, pemirsa sering mengalami kesulitan membedakan, mana yang merupakan realitas, dan yang mana yang merupakan rekayasa teknologi. Atau, yang mana merupakan adegan yang manusiawi, yang mana merupakan adegan “bohongan”.
Jadi jelas, salah satu alasan yang paling mendasar mengapa kekerasan begitu sulit dilenyapkan adalah, karena kekerasan itu indah dan menciptakan sensasi-sensasi kenikmatan. Kekerasan menghasilkan rasa muak, sekaligus rasa kagum hampir pada saat yang bersamaan. Perasaan berjumpa dengan kekerasan sekaligus adalah perasaan akan keindahan. Di dalam kekerasan, kenikmatan dan ketakutan berelasi secara dialektis. Yang satu menghadirkan yang lain. Ciri estetik dari kekerasan ini menjadi komoditi yang diperjualbelikan oleh industri media. Semua bentuk kekerasan di dalam film dan iklan menjadi bagian dari komoditi yang menguntungkan, sehingga rating program yang tinggi bisa diperoleh, dan keuntungan finansial datang. Tentu saja, tayangan kekerasan yang menciptakan kenikmatan tersebut sama sekali tidak menghiraukan aspek-aspek lainnya, seperti aspek pendidikan ataupun efek trauma yang diakibatkannya.

Selain membawa kenikmatan, rupanya kekerasan juga memiliki dimensi estetik mendalam yang membuatnya, sampai batas-batas tertentu, dapat dikategorikan sebagai seni. Ciri estetik dari kekerasan membuat penonton yang menyaksikannya merasa terhibur. Ciri estetik ini akan semakin menghibur, ketika pelaku kekerasan mendapatkan kemenangan pada akhirnya. Aspek menghibur dari adegan kekerasan juga semakin meningkatkan efek kenikmatan, ketika kekerasan itu diramu dalam bentuk humor.Humor di dalam adegan kekerasan seolah bisa memangkas ciri destruktif dari kekerasan tersebut. Akibatnya, pemirsa yang menikmati adegan tersebut menjadi tumpul dan hilang kepekaannya terhadap korban kekerasan di dalam adegan, dan mungkin pada akhirnya di dalam realitas sehari-hari. Ketidakpekaan orang terhadap korban penderitaan korban sebenarnya sudah terbentuk, ketika orang menyaksikan film beradegan kekerasan di dalamnya, dan mendapatkan kenikmatan dari melihat adegan tersebut.

Jadi, apa yang tadinya merupakan adegan di dalam sebuah film, kini berpotensi menjadi tindakan di dalam kehidupan nyata. Kekerasan itu menular, berawal dari pandangan, dan berakhir pada tindakan. Keterpesonaan terhadap kekerasan juga seringkali dipergunakan oleh para politikus demi tujuan-tujuan politik praktisnya. Tidak bisa dipungkiri lagi, para politikus sering mempergunakan rasa gentar dan kekaguman para “pemirsa kekerasan” untuk kepentingannya. Aspek estetik yang mengagumkan sekaligus membuat gentar itu berubah menjadi sarana pemecah belah. Tak heran, di dalam diskusi mengenai taktik CIA untuk menjatuhkan para oposisi Amerika dengan kekerasan mengundang decak kagum sekaligus rasa takut hampir pada saat yang sama. Sikap dan pandangan peserta diskusi pun terpecah, ada yang terkagum sekaligus menjadi setuju, dan ada yang menentang CIA.

3. Efek dari kekerasan
Ada tiga hal yang kiranya bisa ditelusuri sebagai akibat langsung dari kekerasan.
1. tontonan dan perilaku kekerasan secara langsung bisa meningkatkan tingkat perilaku agresif penontonnya.
2. adegan kekerasan yang diulang terus menerus bisa membuat penontonnya, baik langsung ataupun melalui layar kaca, tidak lagi peka terhadap penderitaan korban yang mengalami kekerasan tersebut.
3. kekerasan bisa menciptakan gambaran yang dunia yang reduktif, yakni bahwa dunia itu sepenuhnya jahat dan kejam, maka orang harus siap melakukan kekerasan untuk bertahan diri.

Dengan tiga hal ini jelaslah, bahwa kekerasan itu, apapun bentuk dan ciri estetik yang mungkin melatarbelakanginya, memberikan pengaruh yang sangat negatif bagi orang, terutama anak yang sedang dalam masa awal pembentukan karakter. “Meskipun ada ekspresi senang, puas, atau tertarik terhadap kekerasan di dalam media,” demikian tulis Haryatmoko, “sering tanpa disadari anak sebetulnya bergulat dalam suatu perjuangan, kegelisahan, dan ditatapkan pada berbagai pertanyaan.”
Anak pun berpotensi mengalami stress, kecemasan, dan kegelisahan mendalam. Tenaga yang dimiliki anak akan habis untuk menghadapi berbagai emosi negatif tersebut. Akhirnya, kesempatan untuk bisa mengembangkan bakat-bakat positif di dalam dirinya menjadi terlewatkan. Perkembangannya menjadi terhambat.

Dunia media adalah dunia dengan banyak “dunia”. Setidanya, ada tiga tipe kekerasan yang bisa kita ketahui, yakni :
1. dunia riil,
2. dunia fiksi,
3. dunia virtual.

Kekerasan pun juga harus disoroti dengan menggunakan tiga kategori ini. Yang pertama adalah kekerasan riil. Yang kedua adalah kekerasan fiktif yang dapat dilihat di dalam film fiksi, kartun, ataupun komik. Dan ketiga adalah kekerasan simulasi yang ada di dalam dunia virtual, misalnya di dalam video games. Semuanya tidak merupakan kekerasan fisik, tetapi lebih merupakan kekerasan yang bersifat simbolik. Dan kekerasan ini bisa berlangsung dengan konstan, karena baik para pelaku maupun korban, keduanya menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. Kekerasan seolah sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah di dalam bahasa, cara bertindak, dan cara berpikir.

Jika kita bahas satu persatu apa-apa yang ada dalam ketiga tipe ini kita akan mengetahui apa yang sebenarnya disimpan oleh kekerasan media itu sendiri . Yang pertama adalah apa yang disebut sebagai kekerasan riil. Menurut Haryatmoko, kekerasan riil juga bisa disebut sebagai kekerasan dokumen. Kekerasan ini mengambil bentuk gambar yang dialami oleh pemirsa sebagai fakta kekerasan. Misalnya adalah tayangan tentang pembunuhan, perkelahian, ataupun konflik sosial yang kesemuanya bisa mengundang reaksi emosional yang dalam di dalam diri pemirsa. Kekerasan semacam ini bisa menimbulkan efek-efek yang saling bertolak belakang, yakni bisa mengakibatkan perasaan sedih, menjijikan, ataupun perasaan tertarik dan simpati yang mendalam. Efek dari tayangan dengan pola kekerasan semacam ini juga bisa positif, yakni mengundang pemirsa untuk mulai peduli terhadap penderitaan korban. Tayangan dan gambar yang berbau kekerasan bisa mengajak pemirsa untuk mulai memikirkan kepentingan di luar dirinya.

Kekerasan dokumen ini, menurut Haryatmoko, dapat menciptakan efek emosional di dalam diri pemirsa. Syaratnya, relasi antara pemirsa dengan gambar yang ditayangkan haruslah sangat tepat, sehingga tidak menimbulkan trauma pada pemirsa yang justru malah menimbulkan sikap antipati. Caranya adalah dengan pemilihan fokus yang tepat. Misalnya, “jeritan seorang demonstran yang terluka dan disandingkan dengan gambar tangan polisi yang berlumuran darah. Pemilihan fokus yang memperlihatkan tangan yang berlumuran darah itu mengundang simpati dan keberpihakan pemirsa kepada demonstran itu.”. Cara-cara semacam ini bisa menciptakan simpati di dalam hati pemirsa.

Kekerasan riil ini tidak hanya terjadi dalam bentuk gambar, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Di dalam tulisan di media, proses peradilan terhadap tersangka pelaku kejahatan telah dilakukan secara prematur, yakni sebelum proses pengadilan sebenarnya terjadi. Di titik ini, media telah melangkahi wewenangnya sendiri. Media tidak lagi berperan sebagai pelapor kejadian, tetapi sudah menjadi jaksa penuntut yang prematur, yang tidak siap dan tidak punya wewenang. Wartawan seolah berakting menjadi jaksa ataupun polisi. “Atas nama hak akan informasi”, demikian Haryatmoko, “media menggantikan jaksa atau polisi.” Menariknya, kini wawancara media seolah menggantikan interogasi aparat penegak hukum, dan jajak pendapat pemirsa menggantikan putusan hakim.

Jika sudah sampai pada titik ini, kekerasan media pun memasuki ruang privat. Media menjadi aparat hukum yang prematur, apalagi jika sudah menjurus menjadi fitnah. Ada banyak kasus yang menunjukkan bagaimana tersangka yang sebenarnya tidak bersalah justru menjadi bulan-bulanan media, dan sama sekali tidak mendapatkan rehabilitasi. Yang paling jelas adalah acara infotainment, di mana seringkali privasi seseorang dilanggar atas nama kebebasan informasi. Walaupun harus diakui, ada beberapa orang yang menggunakan cara itu untuk meningkatkan popularitas mereka.

Tipe kekerasan kedua yang menjadi keprihatinan Haryatmoko adalah kekerasan fiktif. Kekerasan semacam ini bisa dengan mudah ditemukan di dalam tayangan-tayangan televisi. Film action, misalnya Rambo IV, sungguh-sungguh mirip dengan konflik riil. Hal semacam ini bisa menimbulkan trauma dan perilaku agresif bagi orang-orang yang menontonnya. Memang, ada “penipuan” dan rekayasa teknologi di dalam tayangan semacam itu. Akan tetapi, dampaknya terhadap dimensi psikis pemirsa sangatlah besar, bahkan lebih besar daripada pertandingan tinju ataupun karate yang memang mengandung kekerasaan riil. “Fiksi”, demikian tulisnya, “mampu memproyeksikan keluar dari yang riil dunia yang mungkin meski tidak ada dalam kenyataan.”

Jadi, walaupun fiksi tidak sama dengan realitas, tetapi fiksi memiliki kemiripan dan irisan dengan realitas. Fiksi justru bisa menawarkan ide-ide baru yang sebelumnya tidak terpikirkan di dalam realitas. Yang juga cukup ironis adalah bagaimana seorang pembunuh bisa memperoleh idenya untuk membunuh, karena ia gemar menonton film-film thriller yang biasa diputar di bioskop-bioskop.

Kekerasan tipe ketiga adalah apa yang disebut sebagai kekerasan simulasi. Kekerasan ini kental di dalam video games, baik yang on line maupun off line. Misalnya ketika seorang penembak di dalam video games melakukan tembakannya dengan menggunakan senapan mesin, serta berhasil membunuh ratusan musuhnya. Kejadian semacam itu alih-alih menakutkan, tetapi justru meningkatkan ketertarikan dan kenikmatan permainan. Di dalam permainan semacam itu, kegelisahan, kejijikan, sekaligus kenikmatan dan rasa penasaran menyatu menjadi satu. Ini salah satu sebab, mengapa banyak sekali orang menyukai permainan video games tersebut. Pemain juga dapat merasakan nikmatnya berkuasa di dalam dunia video games. Ia adalah pemain, penguasa, sekaligus pemenang. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah diperolehnya di dalam dunia “nyata”.

Mengetahui itu, industri hiburan semakin tertarik untuk mengembangkan pasar mereka. Tambah lagi, ketika bermain, seorang penikmat permainan video games hampir tidak diberikan waktu untuk berpikir dan merefleksikan. Di dalam permainan video games, manusia diubah menjadi mahluk yang bergerak melulu dengan pola aksi-reaksi, dan stimulus-respons. Refleksi menjadi tidak relevan, karena semuanya terjadi dan bergerak secara mekanis. Jadi, keberhasilan suatu permainan video games adalah sejauh mana permainan tersebut mampu “menghisap” pemainnya ke dalam logika yang bersifat teknis-mekanis-interaktif. Permainan yang memiliki ritme tetap seolah menghipnotis pemainnya, sehingga ia merasa menyatu dengan permainan tersebut. Tentu saja, perasaan menyatu ini tetaplah sebuah perasaan saja, jadi tidak melulu benar. Akan tetapi, kecanggihan teknologi serta kenikmatan yang didapat di dalam bermain video games seolah mengaburkan fakta itu.

Jenis kekerasan lain yang juga sulit untuk dicegah adalah kekerasan simbolik yang ada di dalam tayangan iklan. Kekerasan ini disebut sebagai kekerasan simbolik, karena tidak ada luka fisik yang diakibatkannya secara langsung. Yang lebih menjadikan ironis adalah, pemirsa tidak menyadari dirinya telah diubah menjadi korban kekerasan. Pemirsa tidak mengetahui, bahwa mereka telah dimanipulasi, dibohongi, dan bahkan dikuasai. Kekerasan simbolik ini terjadi melalui medium bahasa yang nantinya akan mempengaruhi cara berpikir, cara kerja, dan cara bertindak.
Kekerasan simbolik juga mengubah makna dari kata konsumsi. Jika dulu orang mengkonsumsi produk material yang konkret, sekarang orang mengkonsumsi tanda. Yang ditawarkan oleh produsen bukan lagi kegunaan semata, tetapi juga merupakan imajinasi yang melibatkan status sosial konsumen. Merk mobil apa yang dipakai seolah secara tidak langsung menggambarkan sejarah singkat kehidupan pemilik mobilnya. Merk rokok apa yang dihisap sekaligus menceritakan secuil kisah kepribadian si penghisapnya.

Yang membuat kekerasan menjadi tidak tampak disini adalah juga apa yang disebut sebagai pola keberulangan dari iklan. Proses pengulangan suatu iklan secara bertahap dan tidak disadari akan mampu mengubah cara pandang dan cara berpikir konsumen, sehingga mereka menjadi mudah dimanipulasi dan merasa tergantung dengan produk yang diiklankan. Kekerasan pun tidak lagi dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sebagai hal yang wajar saja. “Iklan”, demikian tulis Haryatmoko, “masuk ke dalam kehidupan sehari-hari konsumen dan dengan cara yang lembut tak terasa dapat memaksakan praktek dan sikap setiap orang.”

Jadi, iklan bisa menjadi sarana pembentuk sikap dan perilaku konsumen. Dalam konteks ini, suatu produk menjadi bernilai bukan karena produk tersebut berguna, tetapi karena produk tersebut mampu memaksakan suatu cara berpikir tertentu, yakni cara berpikir yang menjadi milik merk produk yang ditawarkan. Setelah cara berpikir berhasil diinternalisasi oleh konsumen, keputusan untuk membeli, menggunakan, dan mencicipi hanyalah tinggal masalah waktu saja.

Setelah produk menjadi bagian dari identitas konsumen, maka produk berhasil menciptakan kesetiaan dan perasaan terikat di dalam diri konsumen. Yang terjadi adalah konsumen seolah-olah tidak bisa hidup tanpa produk yang biasa dikonsumsinya. Inilah yang disebut sebagai kebutuhan-kebutuhan palsu (false needs). Identitas dan kesetiaan terhadap produk ini akan semakin menebal seraya dengan adanya bonus, jika orang menggunakan produk tersebut pada pembelian ke sepuluh, ataupun ada bonus setelah menggunakan produk dalam jumlah tertentu.

Karena keindahannya, kekerasaan di dalam media bisa begitu mudah dan gamblang mendikte cara berpikir orang, tanpa orang tersebut menyadari bahwa ia telah didikte. Ciri estetik kekerasan menjadi begitu nyata, ketika orang terpikat pada suatu bentuk tayangan media, dan ia membiarkan secara sukarela dirinya menjadi pengikut setia suatu produk tanpa berpikir lebih jauh. Dalam hal ini, kekerasan bergerak dengan cara-cara yang begitu halus. Kekerasan simbolik di dalam media seolah telah berubah menjadi “seni” memanipulasi orang, yang kini tidak lagi dipersepsi sebagai suatu bentuk kekerasan, tetapi sebagai bagian wajar dari kehidupan manusia. Karena keindahannya, kekerasan telah menjadi stimulan-stimulan yang menghasilkan kenikmatan bagi manusia.

4. Kesimpulan
Dengan sangat luasnya jangkauan media massa, masyarakat akan lebih gampang dimasuli oleh pemikiran serta perilaku media massa itu sendiri. Tidak terkecuali masalah kekerasan dalam media itu sendiri. Sudah lama hal ini tidak kita sadari baru pada pertengahan abad XIX terdapat beberapa pemikir yang merasakan akan adanya bahaya tersebut dan akhirnya mengadakan beberapa penelitian.

Terdapat Dua penelitian yang mendorong kesadaran mengenai kekerasan media adalah:
1. Dale (1935) yang melakukan analisis isi 1500 film yang mengandung tekanan kuat terhadap kejahatan.
2. Blumer (1933) yang melakukan survey terhadap 2000 responden yang
menunjukkan kesadaran mereka terhadap fakta bahwa mereka telah meniru secara langsung aksi kekerasan yang telah mereka tonton dalam film kekerasan.

Dengan adanya penelitian ini kesadaran publik terhadap kekerasan media lebih meningkat. Perhatian ini diperburuk dengan hadirnya analisis Wertham (1954) mengenai isi komik yang tesisnya berbunyi ketidakseimbangan jumlah buku komik yang mengandung gambar-gambar kekerasan yang menakjubkan memberikan kontribusi terhadap kejahatan anak muda laki-laki, banyak dari mereka merupakan konsumen kelas berat dari gambar-gambar tersebut.

Perhatian ilmuwan terhadap kekerasan media tidaklah berlarut-larut sampai 1950an ketika terdapat kemungkinan efek televisi publik menarik perhatian pemerintah yang melihat adanya pengaruh negatif pada anak dan kontribusi potensial terhadap kejahatan remaja. Perkembangan televisi di Amerika menimbulkan era baru kontroversi kekerasan media.

Schramm, Lyle, dan Parker (1961) mendiskusikan sejumlah contoh peniruan kekerasan yang disebarkan oleh sumber berita pada tahun 1950an. Mereka menyatakan bahwa hubungan antara penggambaran kekerasan di televisi dan peniruan kejahatan kekerasan bukanlah tidak sengaja. Seorang ahli, Gerbner mendefinisikan kekerasan sebagai ekspresi terang-terangan dari kekuatan fisik melawan diri sendiri atau orang lain, atau aksi pemaksaan melawan keinginan seseorang terhadap sakitnya disakiti atau dibunuh.

Dari definisi tersebut ia menemukan bahwa prime-time tv mengandung delapan contoh kekerasan per jam, rata-rata yang mengindikasikan sedikit perubahan dari studi sebelumnya untuk Komisi Nasional. Dengan lazimnya kekerasan di tv, pintu bagi ahli untuk mempertanyakan dampak isipun terbuka. Pertanyaan apakah menonton kekerasan media mempengaruhi perilaku agresif memang menarik. Sudah begitu banyak ahli melakukan penelitian menganai hal tersebut dengan berbagai metode baik survei maupun eksperimen laboraturium. Kritik terhadap tesis kaitan perilaku agresif sebagai akibat tontonan adegan kekerasan di media salah satunya adalah alat ukur konstruksi tindakan agresif (misalnya memukuli boneka) dianggap tidak berkaitan dengan perilaku agresif manusia.

Menurut Bandura, kekerasan media merupakan penyalur perilaku agresif. Ahli lain, Huesmann menyatakan bahwa kebiasaan agresif diduga dipelajari pada tahap awal kehidupan, sekali ia hadir maka ia akan resisten dan sulit diubah. Bila seorang anak terbiasa menyaksikan tayangan kekerasan dan membentuk pola kebiasaan yang agresif maka menurut Huesmann kebiasaan menyaksikan televisi usia dini berkaitan dengan kriminalitas pada masa dewasa nanti.
Kontroversi mengenai efek kekerasan media berkaitan dengan konsep kepentingan statistik, signifikansi statistik, dan kepentingan sosial. Setidaknya terdapat dua aspek yang meminimalkan besarnya efek kekerasan media dan kaitannya dengan perilaku agresif yaitu:
1. efek yang timbul sering ditinggalkan oleh pneliti
2. studi yang bisa dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari sering tidak jelas.

Selain itu, juga dipertanyakan karena tayangan media sangat banyak dan penonton pun banyak. Apakah bila seseorang berperilaku agresif setelah menonton satu tayangan berarti seluruh lapisan masyarakat yang juga menyaksikan acara tersebut juga memiliki masalah yang sama? Mekanisme teoritis Katarsis.

Feshbach (1955) mengemukakan ide yang berpihak pada media yaitu prediksi bahwa tampilan kekerasan pada media akan menyalurkan kemarahan atau kefrustasian penonton untuk menyingkirkan perasaan tersebut, setelah menonton kekerasan media mereka akan mengurangi keinginan berlaku agresif. Ide dasarnya adalah dengan menonton kekerasan media akan memberi jalan bagi penonton melakukan tindakan agresif fantasi mengukung permusuhan dengan jalan pemuasan dan mengurangi perlunya membawa sikap agresif pada dunia nyata.

Pembelajaran Sosial Bandura (1965) mengemukakan teori bahwa karakter media yang menyajikan model untuk perilaku agresif mungkin dihadirkan oleh penonton, dan tergantung apakah perilaku dihargai atau tidak akan tidak mencegah atau mencegah imitasi perilaku berturut-turut. Studi Bandora menawarkan dukungan yang dapat dipertimbangkan bagi proses pembelajaran sosial. Pernyataan Bandura mengenai teori kognitif sosial menunjukkan bagaimana formulasi awal telah berkembang dan telah berdiri menjadi teori pokok untuk memahami efek kekerasan media.

Priming. Berkowits memfokuskan perhatian pada kekerasan media dengan memperhatikan “petunjuk agresif” yang dimiliki dalam isi tipe ini. Menurutnya, petunjuk-petunjuk tersebut akan mengkombinasikan psikis dengan tingkat kemarahan dengan frustasi penonton , dan akan memicu agresi yang berikut. Jo dan Berkowitz menyempurnakan ide ini dengan menyatakan kekerasan media bisa membentuk pikiran mengenai perilaku agresif dan konsekuensinya membuat perilaku agresif yang nyata semakin disukai.

Penelitian lain yang dipengaruhi teori ini adalah pernyataan Bargh yang menyatakan ide bahwa kekerasan tersebut tidaklah bernilai sesaat saja setelah media ditonton, tetapi memiliki efek jangka panjang. Arousal. Zillmann (1991) mengemukakan dugaan bahwa penyebab pemunculan sifat kekerasan media sangat penting untuk memahani intensitas reaksi emosional yang muncul seketika setelah menonton. Arousal juga bisa memperkuat emosi positif yang muncul setelah menonton. Desensitization. Satu jalan mengapa kekerasan media meningkatkan perilaku agresif adalah melalui ketidaksensitifan emosional.

Pemunculan kekerasan media yang berulang kali akan menyebabkan kejenuhan psikologis atau penyesuaian emosional terhadap level ketegangan, kegelisahan, atau mengurangi rasa jijik atau lemah. Hal tersebut akan mengurangi kepentingan untuk merespon kekerasan dalam dunia nyata. Ketika sensitivitasan manusia terhadap kekerasan memudar, perilaku kekerasan meningkat karena sudah tidak terdeteksi lagi sebagai perilaku yang seharusnya dibatasi/tidak dilakukan. Cultivation and Fear. Berkaitan dengan kemungkinan menonton kekerasan dalam waktu yang lama akan menumbuhkan sudut pandang partikular mengenai kenyataan sosial dan menyebaban level yang tinggi terhadap ketakutan yang bisa terpatri selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Penelitian Mendatang Akhir-akhir ini, ilmuwan semakin tertarik meneliti dampak kekerasan video games terhadap perilaku agresif. Dill dan Dill mengungkapkan permainan tersebut memang meningkatkan agresivitas, sebuah penemuan yang sejalan dengan penemuan lain. Sparks dan Sparks juga mengungkap sedikit data yang menyimpulkan fakta bahwa program yang mengandung kekerasan media lebih disukai dari program yang tidak mengandung kekerasan.

Zillmann dan Weaver mendemonstrasikan bahwa lai-laki dengan psikologis tinggi lebih mudah dipengaruhi kekerasan media.

setidaknya terdapat tiga asumsi dalam lingkaran akademik dan politik mengena efek kekerasan media :
1. materi kekerasan lebih sering menghasilkan efek dan efek ini sifatnya cenderung negatif
2. kekerasan media lebih sering menghasilkan pemikiran dan perilaku kekerasan daripada pelukisan media lain
3. kekerasan media lebih layak mendapatkan perhatian peneliti dan tindakan sosial politik daripada penggambaran media lainnya.

Media massa, terutama televisi, menjadi penyumbang utama maraknya kekerasan yang dilakukan anak. Hal tersebut terungkap dari Kajian Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap acara televisi.
Dilansir dari Koran harian TEMPO,”Menurut Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan beberapa stasiun televisi, sekitar 62 persennya menyajian kekerasan”. "Anak-anak kemudian mengaplikasikan kekerasan dilayar televisi tersebut ke dunia keseharian mereka, karena tipikal anak memang suka meniru," katanya kepada Tempo disela acara Testimoni Keluarga Akila Everlyne Ardelia, anak berusia dua tahun yang tewas dianiaya, di kantornya, Jakarta, Jumat.

Dari hal tersebut sangat jelas bahwa tingkat keterpengaruhan tingkah laku anak terhadap apa yang mereka tonton di media.Karena itu, menurut Airst, perlu ada gerakan nasional untuk mengikis budaya kekerasan di masyarakat. Salah satunya, ia mencontohkan, adalah dengan mensosialisasikan persepsi yang benar kepada orang tua atau guru bahwa menghukum anak tidak harus dengan memukulnya. "Ini penting dilakukan karena setiap tahun kekerasan yang terjadi pada anak cenderung meningkat," katanya.

Sepanjang tahun 2006, Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat setidaknya terjadi 1,124 kekerasan terhadap anak. Jenis kekerasan yang diterima anak adalah kekerasan fisik (21,98 persen), kekerasan seksual (37,90 persen), dan kekerasa psikis (40,12 persen).
Dari total 526 pelaku kekerasan terhadap anak, 16 persennya dilakukan oleh tetangga dan ayah kandung (11,60 persen). Sedangkan ibu kandung dan guru masing-masing menyumbang 8,94 persen dan 6,46 persen.

Sementara ibu tiri yang kerap dituding paling sering melakukan kekerasan terhadap anak, hanya menyumbang 1,71 persen.Sungguh luar biasa efek dari fenomena ini. Dengan apa yang telah dipaparkan diatas.
Inti dari semua bentuk tayangan kekerasan adalah dapat menciptakan ketidakpekaan terhadap korban kekerasan di dalam diri pemirsa. Artinya, ketidakpekaan terhadap korban kekerasan sebenarnya sudah terbentuk, ketika orang menikmati film yang berisi adegan kekerasan di dalamnya. Kekerasan di dalam media menjadi begitu mudah dan gampang memasuki cara berpikir orang, memanipulasinya, tanpa orang tersebut menyadari bahwa ia telah dimanipulasi. Salah satu bentuk manipulasi paling awal yang tampak adalah, ketika pemirsa menjadi kurang kepekaannya terhadap kekerasan yang diderita oleh korban. Dan manipulasi pada lebih jauh terjadi adalah, ketika identitas pemirsa pada akhirnya turut ditentukan oleh tayangan yang ditampilkan di televisi, baik itu dalam bentuk berita, film, ataupun iklan.

Jika sudah seperti itu, kekerasan pun tidak lagi dipersepsi sebagai kekerasan, melainkan sebagai sesuatu yang wajar, atau yang lebih berbahaya lagi, kekerasan sebagai sesuatu yang normatif! Jika suatu tindak kekerasan didiamkan begitu saja, maka lama-kelamaan, tindakan itu akan dianggap biasa. Lebih dari itu, semakin didiamkan terus, orang yang justru tidak melakukan tindakan kekerasan justru malah menjadi orang yang bersalah! Ciri kekerasan membuatnya menjadi licin bagai belut untuk dilenyapkan. Kemampuannya membuat orang terpesona menciptakan kondisi yang justru semakin memadai untuk kekerasan yang lebih besar. Konsekuensi inilah yang harus diterima oleh khalayak umum. Menyadari adanya paradoks di dalam fenomena kekerasan ini tampaknya merupakan langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengurangi efek negatif kekerasan di media bagi kehidupan manusia.









Daftar Pustaka
Haryatmoko, Etika Komunikasi Politik, Yogyakarta, Kanisius, 2007
Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LkiS : Yogyakarta.
Quail Mc. Danis., Teori Komunikasi Massa, edisi kedua, Prnerbit Erlangga, Jakarta, 1991
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/05/11/brk,20070511-99874,id.html
http://www.mengaisilmu.blogspot.com






Mengaisilmu.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar