Rabu, 01 Juni 2011

Entah, namanya apa ini


Kita mungkin harus meninjau ulang konsep ratapan dan duka. Jangan hiraukan pandangan kuno tentang tangisan. Biar dunia berujar tangisan sama halnya dengan cengeng. Tapi disini ada sesuatu yang harus berubah-duka menjadi indah.

Jembatan itu kini masih tegar, sama seperti waktu hujan yang datang bersama senyummu yang sayu. Kita memang baru saja bertemu pada suatu keadaan yang ranum. Sama seperti matamu yang dirundung biru.

Waktu itu dingin mendekap dunia dengan anomalinya. Anomali realita dan logika. Bagi orang lain, dingin akan membawa luka. Tapi bagiku dingin adalah hangatnya tubuh dan rasamu. Membius susunan syaraf, dan terasa indah. Bersama hujan yang disengaja semua itu lahir.

Inilah sikap egois hatiku. Maaf, karena hal itu dirimu menjadi pucat pasih.

Lagi-lagi di dalam dingin, ku semakin menyelami kesederhanaanmu. Menyusup lebih dalam dan lahirlah kau sebagai wanita sederhana yang bermasalah dengan hatinya. Semakin terpancar keindahan yang tersembunyi. Seperti menyibakkan cadar, kilaumu tertumpah dalam hati yang sebenarnya polos ini.

“Kita seperti bensin yang bermain di dekat perapian, mengapa tak segera terbakar?”

Mungkin harapan yang tak sesuai membuatmu galau. Atau timbang menimbang menyudutkan rasa. Entahlah, yang ku tahu dirimu hadir dengan sosok yang sederhana. Meskipun tumpukan beban masalalu mengurung kesederhanaan itu. Terpoleslah dirimu menjadi kupu-kupu yang masih bersayap basah. Indah, tegar, tak mampu terbang dan sangat berhati-hati pada sekelilingmu.

Disini ada bromocora yang sedang dirundung duka. Duka dari lara yang hadir dari kesadaran. Lusinan kisah hitam masa silam menyatu di mukaku. Satu persatu merobek ketulusan perubahan. Pedih dan berdarah. Tapi itulah hukuman. Yang harus di jalani seorang lelaki. Tak mungkin aku menolak atau lari dari padanya.

Teori pembentukan opini public yang kupelajari sedang menunjukkan contoh nyatanya. Kesepakatan-kesepakatan public kini mengarah dan menodongkan cetbang cercaannya padaku. Seraya ingin mengatakan kalimat hinaan yang paling pantas untuk pesakitan rasa. Kau pun mengamininya. Padahal ada sesuatu yang ingin kupersembahkan untuk menutup lukamu. Ada sesuatu yang langka dalam kehidupanku. Akhirnya ketulusan keluar tak tepat waktu dengan bodohnya. dengan kesadaran penuh, atas sakit yang pasti dirasa.

Disinilah diam menjadi hal paling bijak menurutku. Biarkan semua puas dengan kesempatan yang sengaja kuberikan. Agar adil kehidupan ini. Ada senang dan luka -normal.

Meskipun kau sangat tak menyepakati kata “ maaf “, aku tak peduli. Karena hanya inilah yang kubisa lakukan selain berbuat untuk mengecat kembali kegelapan masalalu. Aku pasrah. Terserah kau anggap apa diri ini. yang ku tahu, Tuhan pun maha pemaaf.

Kini himpitan pedih yang ada hanyalah ratapan yang harus kujalani. hingga ku anggap semua adalah karma yang indah.

HARATAI

Rawa berlari-lari disini
Engkau yang kembang kempis bersama waktu
menebar gelora usang
dan menghilang bersama malam

kasih,
usah hiraukan malam kembang gula yang hangat
Biarkan kutidur kambali bersama kenihilan
biarlah jembatan kembali tenang tanpa hitungan

Sebab,
rajutan lontar muda semakin kering
biar kudisini merokok lagi bersama pagi

aku terdiam bersama kenangan
Yang menyelam dalam ingatan

di pagi ini,
kan kuhembuskan rindu itu

diam,
dan pulanglah

Loksado, 2011

2 komentar:

  1. ok dada.. aku pulang ya hihihi.. doh kata-katanya berat banget, aku gak tau maksdnya, cuma puisinya itu agak ngerti, orang lagi rndu kan ya ^.^

    Blogger Jombang, besok aku juga mau Pulang ke Jombang, salam kenal :)

    BalasHapus
  2. Thanks..
    Salam kenal juga..
    keep writing ya..

    BalasHapus