1. Film Sebagai Ancaman
Geert Wilders, anggota Parlemen Belanda, sedang membuat film berisi penghinaan terhadap Alquran. Film ini rencananya akan ditayangkan di salah satu televisi Belanda, tetapi kemudian mendapat penentangan keras karena muncul kekhawatiran akan mendatangkan letupan baru konflik lintas budaya.Sepertinya Geert tidak mengambil pelajaran dari Theo van Gogh, sutradara film Submission (2004). Film yang melecehkan umat Islam itu memantik kebencian dan mengantarkannya ke liang kubur.
Akan tetapi Gogh tewas dibunuh Mohamad Bouyeri, seorang fundamentalis Muslim. Bila Geert tetap dengan rencananya bisa jadi ia akan mengikuti jejak Gogh.Gerakan Geert merupakan kelanjutan dari pemikirannya yang nyeleneh dan selalu memancing kemarahan umat Islam. Telah lama ia dikenal sebagai tokoh anti-Islam Belanda dan film menjadi cara terbarunya dalam menyebarluaskan kebenciannya terhadap Islam.
Film sejak lama telah menjadi media propaganda dalam menyebarkan suatu pemahaman kepada masyarakat. Dengan caranya yang halus (audio visual) film mampu membentuk opini publik tanpa disadari oleh khalayak. Tidak aneh kemudian film yang pada mulanya dianggap sebagai tontonan berubah menjadi tuntunan.
Film Hollywood
Berbicara tentang film sebagai media propaganda, Hollywood merupakan ikon film propaganda dunia saat ini. Industri hiburan produk AS ini seringkali membentuk stigma tentang masyarakat atau budaya di luar mereka, tak terkecuali Islam dan umat Islam.
Usai berakhirnya perang dingin yang dimenangkan kapitalisme Amerika atas komunisme Uni Sovyet, blok Barat membidik Islam sebagai musuh berikutnya. Pengeboman WTC menjadi pembenaran pemikiran tersebut.Hal ini disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia melalui film-film Hollywood. Film kemudian menjadi media paling ampuh membentuk citra negatif Islam, sekalipun ada juga beberapa di antaranya yang tetap objektif memperlihatkan kebenaran Islam.
Bila dikelompokkan, film Hollywood yang bercerita tentang Islam terbagi kepada tiga jenis, antara lain :
1. Film yang menggambarkan citra buruk Islam, misalnya film Alladin (1992). Dalam film ini Islam dicitrakan sebagai budaya terbelakang yang memberlakukan hukuman, menurut orang Barat, tidak manusiawi, yaitu potong tangan. Film True Lies (1994) dan The Siege (1998) tidak kalah buruknya. Keduanya mencitrakan orang Arab dan Islam sebagai teroris.
2. Film yang memperlihatkan Islam secara positif. Beberapa di antaranya The Messenger (1976), Lion of the Dessert (1981), Robin Hood: Prince of Thieves (1991), dan Kingdom of Heaven (2005). Film-film tersebut menggambarkan tokoh Muslim yang memiliki jiwa mulia.
3. Film yang bersifat netral, tidak menjelek-jelekkan tapi juga tidak memuji Islam. Ini seperti Malcolm X (1992) dan Ali (2001) yang bercerita tentang biografi dua tokoh black Muslim Amerika. Dari tiga jenis film Hollywood di atas, jenis pertama saat ini semakin gencar diproduksi dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Hal ini tentunya membawa implikasi serius bagi umat berupa citra buruk di mata masyarakat internasional. Apalagi, kemudian terorisme dan berbagai bentuk kekerasan kerap muncul di negara-negara Islam. Citra tersebut pun semakin tertancap kuat.
Dari reaksi ke aksi
Dalam menghadapi rencana pemutaran film Geert, umat Islam memberikan reaksi cukup keras. Negara-negara Arab bahkan menyampaikan keberatannya kepada Pemerintah Belanda. Mereka berencana memboikot produk asal Negeri Kincir Angin tersebut bila tuntutannya tidak dipenuhi.
Bisa dibayangkan, belum diputar saja film tersebut sudah menuai reaksi sedemikian hebat. Bagaimana bila benar-benar disiarkan? Reaksi umat Islam kemungkinan akan jauh lebih besar dari reaksi mereka terhadap pemuatan kartun Nabi Muhammad di majalah Jyllands-Posten Denmark beberapa waktu lalu. Namun, ada satu reaksi unik yang berasal dari Liga Arab Eropa. Mereka memberikan reaksi dengan cara yang maju, yaitu membuat film tandingan yang memperlihatkan sisi positif Alquran dan Islam.
Cara ini tentu lebih elegan dan lebih beradab dibandingkan dengan demonstrasi besar-besaran. Perlawanan dilakukan dengan menggunakan senjata yang sama, yaitu film.
Sejauh ini umat Islam menyadari bahwa mereka seringkali hanya menjadi konsumen dan objek sasaran industri kapitalisme hiburan dunia. Sudah selayaknya umat Islam mulai beranjak menjadi produsen film.
Children of Heaven, film asal Iran bisa menjadi contoh menarik untuk diikuti. Hasil karya sineas Iran ini tidak tanggung-tanggung mampu menembus nominasi Piala Oscar.
Di Indonesia, film Islam atau film dakwah termasuk barang langka. Dulu pernah muncul Cut Nyak Dien, Alkautsar, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Nada dan Dakwah, serta Fatahillah. Namun, film-film seperti ini kemudian menghilang seiring dengan matinya perfilman Indonesia.
Saat ini film layar lebar mulai bangkit kembali. Hanya saja isinya cenderung kontraproduktif dengan dakwah Islam. Saat ini yang sering muncul dan laku di pasaran adalah film-film berisi pesan pergaulan bebas.
Lihat saja dari judulnya Buruan Cium Gue, Maaf Aku Menghamili Istri Anda, sangat miris. Tidak kalah pula bermunculan film horor yang penuh muatan bid'ah, takhayul, dan khurafat.
Bila selama ini film dipandang sebagai cerminan masyarakat, maka melihat kondisi seperti itu tentu kita perlu meratapinya. Namun, ada kabar gembira. Film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari Novel karya Habiburrahman El-Shirazy yang sudah dirilis pada 28 Februari kemarin.
Ini mungkin bisa menjadi oase di tengah gersangnya perfilman Indonesia, sekaligus menjadi gebarakan baru dakwah Islam melalui media layar lebar. Memang tidak mudah untuk melahirkan film dakwah.
2.Film sebagai Dakwah
Melihat sebuah Film adalah melihat sebuah kenyataan dalam sebuah layar , yang kadang-kadang ceritanya bisa juga hadir dalam realitas kehidupan kita sehari-hari. Sehingga sebagai sebuah media, maka sebagaimana buku, Koran, ataupun majalah akan sangat efektif untuk digunakan sebagai alat menyampaikan sebuah pesan. Oleh karena itu Penulis memberikan sebuah apresiasi yang tinggi bagi film-film yang mencoba menjadi media Dahwah.
Karena menurut penulis banyak Dakwah yang dilakukan dengan cara konvensional di Media Audio visual cenderung untuk menampilkan Ajaran-ajaran yang kaku, dengan perumpamaan memegang sebuah cambuk yang berduri yang siap selalu untuk menghukum Umat yang tidak taat pada ajaran agamanya.
Kita membutuhkan sebuah dahwah yang damai dan menyejukkan, sebuah dakwah yang mencoba mengajak berbuat baik dengan cara-cara yang baik juga. Dakwah dengan cara-cara yang bisa menggali sebuah budaya dalam masyarakat tanpa harus meninggalkan kebudayaan tersebut. Sebagaimana dulu jaman awal masuknya Islam, sudah diterapkan oleh para Wali songo.
Dalam Dakwahnya Sunan kalijogo sering menggunakan media Wayang kulit, untuk menyampaikan pesan-pesan dalam agama islam, Padahal kita tahu wayang adalah hasil dari kebudayaan Hindu. Dengan cara penyampaian pesan Agama lewat wayang inilah, nilai-nilai yang ada dalam agama islam dimasukkan dalam berbagai macam adegannya, bisa Saat Dialog antar Pemainnya, ataupun dalam jalinan ceritanya.
Maka jika kita menonton film Ayat-ayat Cinta, kita akan merasa sang sutradara Hanung Bramantyo sedang Berdakwah dengan Film-nya. Ada yang beranggapan bahwa inilah Film Islami, tapi menurut penulis lebih cocok dengan menyebutnya sebagai Film Religius, karena walaupun diperankan oleh berbagai macam pemeran dengan latar belakang agama yang berbeda, tapi nilai-nilai religiusnya tetap bisa disampaikan. Terlepas dari kontroversi Novel-nya lebih bagus dari filmnya, tapi keberanian sang Sutradara tetap harus kita akui untuk mengangkat sebuah tema yang jadi polemic yaitu POLIGAMI.
Disini penulis tidak menyoroti kontroversi Poligami, karena ada banyak tafsir yang membenarkan dan menyalahkannya, tergantung dari sudut pandang Penafsirannya. Tetapi penulis tertarik untuk mengapresiasi tentang Tema Besar dalam Film A2C ini, yaitu CINTA. Dimana menurut sudut pandang dari Sutradara-nya adalah Cinta yang Universal, yaitu Substansi dari cinta IKHLAS, SABAR, DAN TOLERAN.
Tiga buah kata yang mudah diucapkan, tapi sangat sulit dalam implementasinya, apabila kita tidak punya niat yang kuat untuk mewujudkannya. Dalam Intrepretasinya hanung bramantyo memberikan “Ceramah”-nya saat Fahri di penjara, dimana dalam Novel digambarkan seorang Profesor, tapi di film-nya sang sutradara mencoba menampilkan dengan Urakan, dan bersuara keras, sang sutradara mencoba memberikan pemahaman bahwa jangan dilihat siapa yang berbicara, tapi dengarlah apa yang dibicarakannya. Dalam Dialog-dialog-nya ada banyak “nasehat” tentang bagaimana kita harus Ikhlas menerima sebuah Cobaan, dan Sabar menjalaninya. Karena Tuhan pasti memberikan Hal yang terbaik buat kita. Bukan dalam artian “NRIMAn” tanpa usaha, tapi lebih kepada Willing to Understanding (Ikhlas untuk mengerti setelah kita mencoba untuk berusaha, dan belum mencapai hasil yang optimal).
Kita menanti film-film dakwah berkualitas lainnya yang mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat di tengah gencarnya arus globalisasi. Film-film tersebut juga diharapkan bisa menandingi film-film Barat yang sering menciptakan citra buruk Islam.
Ikhtisar:
- Film telah menjadi media propaganda dalam menyebarkan suatu pemahaman kepada masyarakat.
- Umat Islam seringkali hanya menjadi konsumen dan objek sasaran industri kapitalisme hiburan dunia.
- Produksi film bernuansa Islami di Indonesia justru merosot.
Geert Wilders, anggota Parlemen Belanda, sedang membuat film berisi penghinaan terhadap Alquran. Film ini rencananya akan ditayangkan di salah satu televisi Belanda, tetapi kemudian mendapat penentangan keras karena muncul kekhawatiran akan mendatangkan letupan baru konflik lintas budaya.Sepertinya Geert tidak mengambil pelajaran dari Theo van Gogh, sutradara film Submission (2004). Film yang melecehkan umat Islam itu memantik kebencian dan mengantarkannya ke liang kubur.
Akan tetapi Gogh tewas dibunuh Mohamad Bouyeri, seorang fundamentalis Muslim. Bila Geert tetap dengan rencananya bisa jadi ia akan mengikuti jejak Gogh.Gerakan Geert merupakan kelanjutan dari pemikirannya yang nyeleneh dan selalu memancing kemarahan umat Islam. Telah lama ia dikenal sebagai tokoh anti-Islam Belanda dan film menjadi cara terbarunya dalam menyebarluaskan kebenciannya terhadap Islam.
Film sejak lama telah menjadi media propaganda dalam menyebarkan suatu pemahaman kepada masyarakat. Dengan caranya yang halus (audio visual) film mampu membentuk opini publik tanpa disadari oleh khalayak. Tidak aneh kemudian film yang pada mulanya dianggap sebagai tontonan berubah menjadi tuntunan.
Film Hollywood
Berbicara tentang film sebagai media propaganda, Hollywood merupakan ikon film propaganda dunia saat ini. Industri hiburan produk AS ini seringkali membentuk stigma tentang masyarakat atau budaya di luar mereka, tak terkecuali Islam dan umat Islam.
Usai berakhirnya perang dingin yang dimenangkan kapitalisme Amerika atas komunisme Uni Sovyet, blok Barat membidik Islam sebagai musuh berikutnya. Pengeboman WTC menjadi pembenaran pemikiran tersebut.Hal ini disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia melalui film-film Hollywood. Film kemudian menjadi media paling ampuh membentuk citra negatif Islam, sekalipun ada juga beberapa di antaranya yang tetap objektif memperlihatkan kebenaran Islam.
Bila dikelompokkan, film Hollywood yang bercerita tentang Islam terbagi kepada tiga jenis, antara lain :
1. Film yang menggambarkan citra buruk Islam, misalnya film Alladin (1992). Dalam film ini Islam dicitrakan sebagai budaya terbelakang yang memberlakukan hukuman, menurut orang Barat, tidak manusiawi, yaitu potong tangan. Film True Lies (1994) dan The Siege (1998) tidak kalah buruknya. Keduanya mencitrakan orang Arab dan Islam sebagai teroris.
2. Film yang memperlihatkan Islam secara positif. Beberapa di antaranya The Messenger (1976), Lion of the Dessert (1981), Robin Hood: Prince of Thieves (1991), dan Kingdom of Heaven (2005). Film-film tersebut menggambarkan tokoh Muslim yang memiliki jiwa mulia.
3. Film yang bersifat netral, tidak menjelek-jelekkan tapi juga tidak memuji Islam. Ini seperti Malcolm X (1992) dan Ali (2001) yang bercerita tentang biografi dua tokoh black Muslim Amerika. Dari tiga jenis film Hollywood di atas, jenis pertama saat ini semakin gencar diproduksi dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Hal ini tentunya membawa implikasi serius bagi umat berupa citra buruk di mata masyarakat internasional. Apalagi, kemudian terorisme dan berbagai bentuk kekerasan kerap muncul di negara-negara Islam. Citra tersebut pun semakin tertancap kuat.
Dari reaksi ke aksi
Dalam menghadapi rencana pemutaran film Geert, umat Islam memberikan reaksi cukup keras. Negara-negara Arab bahkan menyampaikan keberatannya kepada Pemerintah Belanda. Mereka berencana memboikot produk asal Negeri Kincir Angin tersebut bila tuntutannya tidak dipenuhi.
Bisa dibayangkan, belum diputar saja film tersebut sudah menuai reaksi sedemikian hebat. Bagaimana bila benar-benar disiarkan? Reaksi umat Islam kemungkinan akan jauh lebih besar dari reaksi mereka terhadap pemuatan kartun Nabi Muhammad di majalah Jyllands-Posten Denmark beberapa waktu lalu. Namun, ada satu reaksi unik yang berasal dari Liga Arab Eropa. Mereka memberikan reaksi dengan cara yang maju, yaitu membuat film tandingan yang memperlihatkan sisi positif Alquran dan Islam.
Cara ini tentu lebih elegan dan lebih beradab dibandingkan dengan demonstrasi besar-besaran. Perlawanan dilakukan dengan menggunakan senjata yang sama, yaitu film.
Sejauh ini umat Islam menyadari bahwa mereka seringkali hanya menjadi konsumen dan objek sasaran industri kapitalisme hiburan dunia. Sudah selayaknya umat Islam mulai beranjak menjadi produsen film.
Children of Heaven, film asal Iran bisa menjadi contoh menarik untuk diikuti. Hasil karya sineas Iran ini tidak tanggung-tanggung mampu menembus nominasi Piala Oscar.
Di Indonesia, film Islam atau film dakwah termasuk barang langka. Dulu pernah muncul Cut Nyak Dien, Alkautsar, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Nada dan Dakwah, serta Fatahillah. Namun, film-film seperti ini kemudian menghilang seiring dengan matinya perfilman Indonesia.
Saat ini film layar lebar mulai bangkit kembali. Hanya saja isinya cenderung kontraproduktif dengan dakwah Islam. Saat ini yang sering muncul dan laku di pasaran adalah film-film berisi pesan pergaulan bebas.
Lihat saja dari judulnya Buruan Cium Gue, Maaf Aku Menghamili Istri Anda, sangat miris. Tidak kalah pula bermunculan film horor yang penuh muatan bid'ah, takhayul, dan khurafat.
Bila selama ini film dipandang sebagai cerminan masyarakat, maka melihat kondisi seperti itu tentu kita perlu meratapinya. Namun, ada kabar gembira. Film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari Novel karya Habiburrahman El-Shirazy yang sudah dirilis pada 28 Februari kemarin.
Ini mungkin bisa menjadi oase di tengah gersangnya perfilman Indonesia, sekaligus menjadi gebarakan baru dakwah Islam melalui media layar lebar. Memang tidak mudah untuk melahirkan film dakwah.
2.Film sebagai Dakwah
Melihat sebuah Film adalah melihat sebuah kenyataan dalam sebuah layar , yang kadang-kadang ceritanya bisa juga hadir dalam realitas kehidupan kita sehari-hari. Sehingga sebagai sebuah media, maka sebagaimana buku, Koran, ataupun majalah akan sangat efektif untuk digunakan sebagai alat menyampaikan sebuah pesan. Oleh karena itu Penulis memberikan sebuah apresiasi yang tinggi bagi film-film yang mencoba menjadi media Dahwah.
Karena menurut penulis banyak Dakwah yang dilakukan dengan cara konvensional di Media Audio visual cenderung untuk menampilkan Ajaran-ajaran yang kaku, dengan perumpamaan memegang sebuah cambuk yang berduri yang siap selalu untuk menghukum Umat yang tidak taat pada ajaran agamanya.
Kita membutuhkan sebuah dahwah yang damai dan menyejukkan, sebuah dakwah yang mencoba mengajak berbuat baik dengan cara-cara yang baik juga. Dakwah dengan cara-cara yang bisa menggali sebuah budaya dalam masyarakat tanpa harus meninggalkan kebudayaan tersebut. Sebagaimana dulu jaman awal masuknya Islam, sudah diterapkan oleh para Wali songo.
Dalam Dakwahnya Sunan kalijogo sering menggunakan media Wayang kulit, untuk menyampaikan pesan-pesan dalam agama islam, Padahal kita tahu wayang adalah hasil dari kebudayaan Hindu. Dengan cara penyampaian pesan Agama lewat wayang inilah, nilai-nilai yang ada dalam agama islam dimasukkan dalam berbagai macam adegannya, bisa Saat Dialog antar Pemainnya, ataupun dalam jalinan ceritanya.
Maka jika kita menonton film Ayat-ayat Cinta, kita akan merasa sang sutradara Hanung Bramantyo sedang Berdakwah dengan Film-nya. Ada yang beranggapan bahwa inilah Film Islami, tapi menurut penulis lebih cocok dengan menyebutnya sebagai Film Religius, karena walaupun diperankan oleh berbagai macam pemeran dengan latar belakang agama yang berbeda, tapi nilai-nilai religiusnya tetap bisa disampaikan. Terlepas dari kontroversi Novel-nya lebih bagus dari filmnya, tapi keberanian sang Sutradara tetap harus kita akui untuk mengangkat sebuah tema yang jadi polemic yaitu POLIGAMI.
Disini penulis tidak menyoroti kontroversi Poligami, karena ada banyak tafsir yang membenarkan dan menyalahkannya, tergantung dari sudut pandang Penafsirannya. Tetapi penulis tertarik untuk mengapresiasi tentang Tema Besar dalam Film A2C ini, yaitu CINTA. Dimana menurut sudut pandang dari Sutradara-nya adalah Cinta yang Universal, yaitu Substansi dari cinta IKHLAS, SABAR, DAN TOLERAN.
Tiga buah kata yang mudah diucapkan, tapi sangat sulit dalam implementasinya, apabila kita tidak punya niat yang kuat untuk mewujudkannya. Dalam Intrepretasinya hanung bramantyo memberikan “Ceramah”-nya saat Fahri di penjara, dimana dalam Novel digambarkan seorang Profesor, tapi di film-nya sang sutradara mencoba menampilkan dengan Urakan, dan bersuara keras, sang sutradara mencoba memberikan pemahaman bahwa jangan dilihat siapa yang berbicara, tapi dengarlah apa yang dibicarakannya. Dalam Dialog-dialog-nya ada banyak “nasehat” tentang bagaimana kita harus Ikhlas menerima sebuah Cobaan, dan Sabar menjalaninya. Karena Tuhan pasti memberikan Hal yang terbaik buat kita. Bukan dalam artian “NRIMAn” tanpa usaha, tapi lebih kepada Willing to Understanding (Ikhlas untuk mengerti setelah kita mencoba untuk berusaha, dan belum mencapai hasil yang optimal).
Kita menanti film-film dakwah berkualitas lainnya yang mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat di tengah gencarnya arus globalisasi. Film-film tersebut juga diharapkan bisa menandingi film-film Barat yang sering menciptakan citra buruk Islam.
Ikhtisar:
- Film telah menjadi media propaganda dalam menyebarkan suatu pemahaman kepada masyarakat.
- Umat Islam seringkali hanya menjadi konsumen dan objek sasaran industri kapitalisme hiburan dunia.
- Produksi film bernuansa Islami di Indonesia justru merosot.